Kesabarandan Kesungguhan Menuntut Ilmu Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata: Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku. Belajar Setiap Hari Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I al-Muththalibi al-Qurasyi atau lebih terkenal dengan sebutan Imam Syafi’I merupakan tokoh agama islam yang mempunyai peran penting. Beliau merupakan pendiri dari mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri dari mazhab Syafi’i. Beliau juga masih tergolong dalam kerabat Rasulullah yang masuk di Bani Muththalib atau keturunan al-Muththalib, saudara dari Hasyim atau kakek dari Muhammad. Imam Syafi’I lahir pada tanggal 767 M/150 H yang bertempat di Gaza, Palestina. Ibu dari Imam Syafi’I bernama Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah dan ayahnya bernama Idris bin Abbas. Kisah dari iman Syafi’I tentunya merupakan sebuah hal yang dapat diteladani oleh setiap muslim yang ada di dunia. Saat Ayah dan ibunya sedang melakukan sebuah perjalanan cukup jauh dengan menuju kampung Gaza Palestina. Dimana kampung tersebut merupakan tempat berperang membela negeri islam yang berada di kota Asqalan. Sang ayah sudah nama yang begitu indah dimana akan diberikan nama Muhammad jika anaknya laki-laki dan menambahkan nama salah satu seorang kakeknya, yaitu Syafi’I bin Asy-Syaib. Saat usia 2 tahun ayahnya meninggal dunia, disitulah perjalanan yang membuat imam syafi’I menjadi penduduk di Mekkah. Beliau tumbuh besar disana sebagai anak yatim, namun meskipun begitu beliau merupakan seorang anak yang pandai. Hal tersebut terbukti sejak kecil beliau mudah dan cepat menghafal syair, pandai berbahasa Arab, dan Sastra. Imam syafi’I juga dikenal sebagai imam bahasa arab. Perjalanan Imam Syafi’I dalam Menuntut Ilmu yang Harus Diteladani Cerita Imam Syafi’I saat Belajar di Mekah Saat usianya mencapai 15 tahun Imam Syafi’I mulai menuntut ilmu fiqih kepada mufti dan itulah awal dari pendidikannya. Saat diusia 15 tahun Muslim bin Khalid Az Zanji mengizinkannya memberikan fatwah. Ini dilakukan agar imam syafi’I bisa merasakan manisnya menuntut ilmu, dengan izin Allah dan hidayah-Nya beliau. Setelah mendapatkan hidayah dari Allah beliau menjadi senang menuntut ilmu fiqih dan syair dalam bahasa arab. Ada banyak sekali guru yang dijadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu dan Guru Imam Syafi’I lainnya bisa disebutkan secara jelas satu persatu. Beberapa guru dari imam syafi’I di antaranya yaitu Muhammad bin Ali bin Syafi’I, Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Sufyan bin , Fudhail bin Al-Ayyadl, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim, Abdurrahman bin Abi Bakr al-mulaiki, dan lainnya di Mekkah karena beliau tidak pernah merasa cukup dalam menimba atau memperdalam ilmu. Belajar di Madinah Imam Syafi’I merupakan seorang yang haus akan ilmu dan hal tersebut membuat beliau melanjutkan pendidikannya dengan pergi ke Madinah. Di Madinah imam Syafi’I berguru kepada Imam Malik bin Anas untuk mendalami ilmu fiqih. Beliau saat berguru kepada Imam Malik mampu menghafal kitab Muwattha’ hanya dalam 9 malam. Beliau juga meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Syafi’I, Fudhail bin Iyadl, Sufyan bin Uyainah, dan lainnya. Dalam majelis tersebut imam syafi’I mampu menghafal dan memahami kitab Muwattha’ dengan baik. sehingga membuat As-Syafi’I mengaguminya. Beliau juga mengagumi guru-gurunya diantaranya, Imam Malik bin Anas dan Imam Sufyan bin Uyainah, Belajar di Yaman, Baghdad, dan Mesir Kisah Imam Syafi’I dalam menuntut Ilmu tidak sampai di Madinah saja, beliau melanjutkan ke Yaman. Baghdad, dan Mesir. Saat pergi ke Yaman beliau tidak hanya menunut ilmu, tetapi juga bekerja sementara waktu. Sederet ulama yang pernah dikunjungi Imam Syafi’I saat di Yaman di antaranya, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli, Mutharrif bin Mazin, dan masih banyak lainnya. Kemudian, beliau melanjutkan perjalanannya ke Irak Baghdad untuk menimba ilmu ke Muhammad bin Hasan. Saat di Irak beliau menulis Madzhab qaul qadim dan saat ke Mesir 200 H menulis yang baru, yaitu qaul jadid. Beliau meninggal saat akhir bulan Rajab 204 H dan dikenal sebagai syuhadaul ilm. Murid Imam Syafi’i Dengan bekal ilmu yang beliau punya tidak meluputkannya menjadi ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antara banyaknya Murid Imam Syafi’i yang paling menonjol adalah murid yang berada di Mesir dan Irak. muridnya yang berada di Mesir ada 3, yang pertama bernama Al Muzanniy yang nama aslinya Isma’il bin Yahya al Muzanniy lahir pada tahun 175 H. Al Muzanniy meninggal pada tahun 254 H, ia menuntut ilmu kepada Imam Syafi’I mulai awal datang ke Mesir sampai beliau wafat. Ia dianggap beberapa Syafi’iyah sebagai mujtahid mutlak yang disebabkan adanya beberapa perbedaan pikiran atau pandangan dengan Imam Syafi’i dalam menghadapi masalah. Al Muzanniy memiliki karya yang bernama Mukhtashor Al Muzanniy yang kemudian dicetak sebagai kaki catatan dari kitab Al Umm. Murid kedua bernama Al Buyuthiy atau Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al Buyuthiy. Dalam berfatwa terkadang Imam Syafi’I meminta pendapatnya untuk berfatwa dan ia juga memiliki Mukhtashor Al Buyuthiy, serta menjadi murid yang senior. Dan yang terakhir Ar Robi’ bin Sulaiman Al Marodiy yang merupakan periwayat kitab Al Umm dan menyalinnya kitab tersebut saat Imam Syafi’I masih hidup. Sedangkan murid yang berada di Irak ada 2 yang menonjol, yaitu Al Hasan bin Muhammad yang wafat tahun260 H dan Abu Ali Al Husain bin Ali yang wafat tahun 264 H. Keteladanan Imam Syafi’I dalam Menuntut Ilmu Dalam Cerita Ulama yang satu ini tentunya terdapat Kisah Teladan Menuntut Ilmu yang dapat ditiru dari Imam Syafi’i. Beliau dalam menuntut ilmu pernah mengalami masalah, seperti mengalami kesulitan dalam menghafal. Beliau menceritakan masalahnya kepada sang guru yang bernama Imam Waqi’. yang kemudian sang guru menasihatinya dengan mengajarkan jika ingin mudah dalam menimba ilmu harus menjauhi perbuatan dosa. karena ilmu yang dicari adalah cahaya dari Allah yang bila sering dan senang berbuat dosa tidak akan mendapatkannya. dari kisah beliau bimbingan dari seorang guru adalah hal yang penting dalam menuntut ilmu, jangan merasa dirinya sudah pintar. Serta jangan sungkan bertanya kepada guru atau meminta sarannya bila sedang mendapatkan masalah. dan yang terakhir memahami kemuliaan dari ilmu yang merupakan warisan dari para Nabi. Dari Kisah Perjuangan Menuntut Ilmu Imam Syafi’I kita bisa mendapatkan pelajaran dalam mencari ilmu. Itulah Kisah Ulama dalam Menuntut Ilmu yang bisa diambil keteladanannya yang bernama Imam Syafi’I sehingga lebih mengetahui perjalanan hidup seorang ulama besar. zakat atau infaq adalah kegiatan yang penting dan wajib bagi seorang muslim yang berkecukupan untuk melakukannya. zakat atau infaq diberikan kepada orang yang membutuhkan, seperti orang miskin, yatim piatu, dan lainnya. untuk menyalurkan atau memberikan Infaq atau zakat bisa melalui Sahabat Yatim yang siap dan amanah dalam menyalurkan bantuan atau zakatnya. Kisahyang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya. 1. Jabir bin Abdullah2. Syekh Ibrahim Al Misr3. Imam As Sarkhawi4. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq5. Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, sahabat Malik dan Laits SAHABAT mulia Islapos, muslim dituntut untuk senantiasa menimba ilmu, sebagaimana ulama-ulama terdahulu. Mereka gigih menuntut ilmu. Siapa dan bagaimana para ulama tersebut menuntut ilmu? Lantas, apa keutamaan menuntut ilmu hingga kedudukannya begitu penting dalam Islam? Para ulama enggan menyia-nyiakan waktu hidupnya sedikitpun. Mereka gigih dalam menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan yang jauh. Berikut beberapa ulama tersebut 1 Jabir bin Abdullah Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi. Periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. 2 Syekh Ibrahim Al Misr Syekh Ibrahim Al Misr tetap menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan dari Mesir ke Madinah untuk mengaji kepada Imam Malik hingga 18 tahun. 3 Imam As Sarkhawi Imam As Sarkhawi selalu mengikuti kemanapun gurunya yakni Ibnu Hajar al Asqalani. Dia tak mau terlewatkan satu pun fadilah ilmu yang disampaikan gurunya itu. 4 Ali bin al-Hasan bin Syaqiq Ali sering kali tak tidur di malam hari. Pernah suatu ketika, gurunya, Abdullah bin al-Mubarok, mengajaknya ber- muzakarahketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuacanya sangat tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan. 5 Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, sahabat Malik dan Laits Demi menemukan persoalan dan hendak mencari jawabannya dari Malik bin Anas, Abdurahman bin Qasim kerap mendatangi Malik tiap waktu sahur tiba agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang Ibnu al-Qasim membawa bantal dan tidur di depan rumah Malik. BACA JUGA Syaikh Ahmad Izzah Al-Andalusy, Kisah Algojo yang Jadi Ulama Besar Masih banyak lagi contoh kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut, dalam riwayat lain Rasulullah SAW mengatakan, umat akan terus tegak dalam menjalankan perintah Allah SWT. Tidak akan ada yang bisa memberikan kemudaratan pada mereka sampai hari kiamat. Ada beragam penjelasan ulama dalam memaknai umat. Sebagian ulama ada yang menyebut adalah mereka yang berpegang teguh kepada sunnah ajaran Nabi Muhammad SAW. Sementara itu, Imam Bukhari berpendapat yang dimaksud adalah ahli ilmu. Sedangkan menurut Imam Ahmad kata umat dalam hadits tersebut adalah ahli hadits. Namun, kebanyakan ulama sependapat dengan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa yang dimaksud umat disitu adalah orang-orang mukmin baik itu ahli hadits, ahli fiqih, ahli jihad, ahli zuhud, dan dalam bidang lainnya yang menyebar keberadaannya di tengah orang-orang mukmin lainnya. Menurut habib Abubakar, orang-orang yang duduk di majelis ilmu telah mendapatkan taufik dari Allah SWT. Artinya Allah SWT menghendaki kebaikan pada orang-orang yang duduk di majelis ilmu sehingga mudah masuk ke dalam surga. Sementara itu Habib Abubakar mengatakan dalam riwayat lain terdapat hadits yang menerangkan bahwa barangsiapa yang Allah SWT kehendaki mendapatkan kebaikan maka orang itu akan mendapatkan diberikan pemahaman oleh Allah SWT untuk mengerti tentang ilmu agama. Habib Abubakar mengatakan kebaikan yang dikehendaki Allah SWT pada orang-orang yang mau menuntut ilmu adalah segala macam kebaikan baik itu kebaikan dunia dan akhirat. Maka orang yang memahami ilmu agama tanda dikehendaki Allah SWT untuk mencapai husnul khatimah. Oleh karena itu dalam riwayat tersebut ditegaskan juga bahwa ilmu itu diperoleh dengan proses belajar atau upaya terus menerus dalam thalabul ilmi. “Tidak bisa orang dapat ilmu dengan duduk saja, tirakat saja, kemudian nunggu ilmu laduni. Untuk dapat ilmu laduni itu harus belajar dulu. Giat belajar, ngaji nanti diberkan futuh, dibukakan Allah SWT baru diberikan ilmu laduni,” jelas Habib Abubakar Assegaf dalam pengajian rutin di Masjid Agung Al Anwar Kota Pasuruan yang juga disiarkan Sunsal TV media resmi Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah yang dipimpin Habib Taufiq bin Abdul Qodir Assegaf. Dalam riwayat lainnya, Habib Abubakar menjelaskan bahwa duduknya seorang hamba di majelis ilmu lebih baik dibanding melaksanakan ibadah sunnah selama enam puluh tahun. Ini menunjukan besarnya keutamaan menuntut ilmu hingga bobot pahalanya lebih besar dari menjalankan ibadah sunah berpuluh-puluh tahun. [] SUMBER REPUBLIKA
Sebagaiseorang sahabat yang sangat selektif dalam menerima dan mengamalkan Hadis, Ibnu Umar berkepentingan untuk mengkroscek secara langsung kebenaran kabar yang beredar di masyarakat Madinah. Memang, Rasul mengajarkan tata cara buang hajat dengan duduk serendah mungkin untuk menghindari percikan najis.
Imam Yahya bin Yahya menceritakan percakapan pertamanya dengan guru tercintanya Imam Malik bin Anas RA 711 M-795 M/90 H-174 H pendiri Mazhab Maliki. Ia mengisahkan percakapan pertamanya dengan Imam Malik RA yang memberikan kesan bagi perjalanan intelektualitasnya. Imam Yahya bin Yahya wafat 848 M adalah ulama asal Andalusia yang berguru kepada Imam Malik di Madinah. Ia kemudian membawa dan mengembangkan mazhab Maliki di Andalusia. Ia juga periwayat Kitab Al-Muwattha karya Imam Malik. Ia merupakan ulama besar generasi awal Mazhab Maliki. "Siapa namamu, wahai anak muda?" tanya Imam Malik RA saat Imam Yahya remaja menghadiri pertama majelis ilmu gurunya untuk menuntut ilmu. "Semoga Allah memuliakanmu wahai guruku. Namaku Yahya," jawabnya. Ia saat itu adalah santri termuda Imam Malik RA. "Semoga Allah menghidupkan hatimu. Kamu harus sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah yang dapat membakar semangatmu dalam menuntut ilmu dan mengalihkan perhatianmu dari aktivitas lainnya," kata Imam Malik RA. Imam Malik RA memulai kisahnya. “Suatu hari seorang remaja asal negeri Syam tiba di Kota Madinah. Kurang lebih seusia denganmu. Ia menuntut ilmu kepada kami dengan giat dan sungguh-sungguh. Dalam usia yang begitu belia Allah memanggilnya. Ia wafat. Aku belum pernah melihat kondisi jenazah yang begitu eloknya di Kota Madinah ini.” Almarhum tidak lain adalah salah seorang wali Allah. Ulama Madinah berkumpul untuk menshalatkan jenazahnya. Masyarakat pun ikut berduyun untuk mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Ketika tahu akan antusias dan pernghormatan ulama dan masyarakat yang begitu besar, gubernur Madinah menahan pelaksanaan shalat jenazahnya. “Pilihlah orang yang paling kalian sukai,” perintah gubernur. Ulama Madinah mengajukan nama Imam Rabiah. Imam Rabiah, Zaid bin Aslam, Yahya bin Sa’id, Ibnu Syihab, termasuk ulama yang paling dekat dengan mereka, Muhammad Ibnu Munkadir, Shafwan bin Salim, Abu Hazim, dan ulama terkemuka lainnya menurunkan jenazah ke liang lahat. Imam Rabi’ah menyusun batu bata pada lahatnya. Mereka memberikan batu bata tersebut kepadanya. Tiga hari setelah pemakamannya, salah seorang yang terkenal sebagai wali Allah di Kota Madinah, kata Imam Malik kepada Yahya remaja, bermimpi melihat almarhum sebagai remaja yang berpenampilan dan berpakaian putih elok sekali. Almarhum mengenakan serban hijau dan menunggang kuda kelabu yang sangat bagus. Ia turun dari langit dan menuju kepada sang wali. Ia mengawali percakapan dengan salam. “Derajatku yang tinggi ini bukan didapat dengan berkah ilmu,” kata remaja belia tersebut. “Lalu apa yang mengantarkanmu ke derajat yang begitu mulia ini?” tanya wali Allah. “Allah memberikanku satu derajat yang begitu tinggi di surga atas setiap bab dalam satu disiplin ilmu yang kupelajari. Namun demikian, derajat-derajat yang begitu tinggi itu tetap tidak membuatku sederajat dengan para ulama. Tetapi Allah yang maha pemurah berkata kepada malaikat, Tambahkan derajat itu kepada ahli waris para nabiku. Aku telah menetapkan dalam diri-Ku bahwa siapa saja yang wafat dalam kondisi memahami sunnah-Ku dan sunnah para nabi-Ku, atau dalam keadaan menuntut ilmu terkait dengannya, niscaya Kukumpulkan mereka dalam satu derajat yang sama.’” “Allah menganugerahkan kepadaku hingga aku meraih derajat para ulama. Aku dan Rasulullah hanya terpaut dua derajat. Pertama adalah derajat di mana ia bersama para nabi tinggal. Kedua adalah derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW dan sahabat para nabi yang menjadi pengikut nabi-nabi di zamannya masing-masing. Di bawah itu adalah derajat ulama dan para santri mereka.” Allah menjalankanku hingga ke tengah halaqah mereka. Mereka menyambut dengan antusian, “marhaban, marhaban.” “Bagaimana Allah memberikan tambahan derajat-Nya untukmu?” tanya wali Allah. “Allah berjanji untuk mengumpulkanku bersama para nabi sebagaimana kusaksikan mereka pada rombongan yang sama. Aku bersama mereka hingga hari kiamat tiba. Bila hari kiamat yang dijanjikan tiba, Allah berkata, Wahai sekalian ulama. Inilah surgaku. Kuizinkan surga ini untuk kalian. Inilah ridha-Ku. Aku telah meridhai kalian. Jangan kalian masuk surga terlebih dahulu sebelum berdiam untuk memberikan syafaat kepada siapa saja yang kalian kehendaki. Aku juga memberikan mandat agar kalian memberikan syafaat kepada mereka yang meminta syafaat kalian agar aku dapat memperlihatkan kepada semua hamba-Ku betapa tinggi kemuliaan dan kedudukan kalian,’” jawab remaja tersebut. Ketika pagi hari, orang yang dikenal wali Allah ini terjaga. Ia menceritakan mimpinya hingga akhirnya kabar tersebut menyebar luas ke seantero Kota Madinah. Kepada Yahya remaja, Imam Malik RA mengatakan, “Dulu di Kota Madinah ini terdapat sekelompok santri-santri yang gemar menuntut ilmu. Seiring waktu semangat mereka dalam menuntut ilmu mengendur hingga berhenti sama sekali. Setelah mendengar kabar dari wali Allah tersebut, mereka kembali menuntut ilmu dengan semangat dan sungguh-sungguh. Mereka itu kemudian yang kamu kenal hari ini sebagai ulama-ulama terkemuka di Kota Madinah. Wahai Yahya, bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini.” * Kisah ini diangkat oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya Indonesia, Al-Haramain Jaya tanpa tahun, halaman 63-64. Wallahu a’lam. Alhafiz Kurniawan
Ketikaorang orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, "Kami melihatmu melakukan sesuatu yang mengherankan." Sufyan menjawab, "Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangkit berdiri karena ilmunya, aku tetap akan berdiri karena usianya.
Menuntut ilmu adalah salah satu aktivitas kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas. Sebagai bukti ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batasan dimensi waktu dan tempat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Tuntutlah ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”. Dua hadits Nabi di atas secara tersirat menggambarkan akan begitu pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Hadits pertama memberi pemahaman bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Atau dengan istilah lain tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah yang membahari itu. Sementara hadits kedua menekankan pemahaman tentang dimensi tempat, artinya aktivitas menuntut ilmu sama sekali tak terbatas oleh dimensi tempat. Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda demikian saat beliau berada di kota Madinah yang saat itu. Sebab, di tempat itulah Islam tumbuh dan berkembang. Kendati demikian, saat memerintahkan umatnya menuntut ilmu Rasulullah shallahu alaihi wa sallam masih menyebutkan negeri China. Mengapa? Untuk menegaskan bahwa mencari ilmu walau sejauh apa pun—bahkan sampai ke China—tetap harus dilakukan. Namun, menuntut ilmu tidaklah sama dengan mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal dengan adãb al-muta’allim. Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang lumrah dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib, memiliki kajian yang sangat mendalam dan menakjubkan saat menafsirkan surah al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana Nabi Musa sebelum berguru kepada Nabi Khidir alaihima as-salam. Dari firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا Artinya Musa berkata kepadanya Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” Baca juga Al-Imam Fakhruddin ar-Razi berhasil memunculkan dua belas adab atau tata karma dalam menuntut ilmu. Namun dalam tulisan ini ada tiga poin adab yang disatukan pembahasannya dengan poin adab yang lain. Sehingga yang tercantum dalam tulisan ini hanya sembilan adab. Di antaranya adalah 1. Mengabdi dan bersikap tawadhu’ rendah hati terhadap guru Dari kisah Nabi Musa yaitu saat menyampaikan maksud bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك bolehkah aku mengikutimu memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab kepada seorang guru. Artinya seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari gurunya agar meminta izin terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya untuk ikut dan mengabdi terhadap sang guru. Dan itu adalah sebentuk ketawadukan atau sikap rendah hati yang begitu agung dari seorang murid. Dan melalui kalimat أتّبعك ar-Razi memunculkan satu kesimpulan bahwa dalam menuntut ilmu seorang murid harus ikut kepada gurunya secara kafah, tanpa syarat dan ketentuan apa pun. Terbukti saat prosesi permintaan izin untuk ikut dengan Nabi Khidir, Nabi Musa tidak menyertakan syarat apa pun. 2. Menyatakan diri sebagai murid yang tak tahu apa-apa Dalam menuntut ilmu seorang murid dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap angkuh, atau menampakkan kepintarannya di hadapan sang guru guna menunjukkan bahwa dirinya telah menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu. Melainkan sebagai bentuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, seorang murid harusnya menampakkan bahwa ilmu yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak dalam, sekaligus memuji sang guru sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan yang tinggi. Sehingga menjadi suatu pendorong kuat untuk memperoleh bimbingan intelektual dari sang guru yang wawasan intelektualnya membahari itu. 3. Ketidakbolehan memiliki banyak permintaan kepada guru Termasuk adab menuntut ilmu, seorang murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis meminta harta kepada seorang yang kaya raya. Artinya seorang pengemis tidak mungkin meminta seluruh harta atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang kaya tersebut. Melainkan ia hanya meminta nol koma sekian persen saja dari persentase seluruh harta si kaya. Begitu juga seorang murid kepada gurunya. Sang murid tidak diperkenankan untuk meminta banyak dari ilmu sang guru. Pendek kata, sebagai murid yang berakhlak mulia seharusnya agar tidak meminta kepada sang guru dalam hal keilmuan untuk dijadikan sealim gurunya atau bahkan melebihi kealiman sang guru. Tentu menyalahi tata karma ketika si pengemis meminta harta berlimpah kepada seseorang agar memiliki kekayaan yang sama dengan orang yang dimintai itu. Kendatipun demikian, sebagai guru yang baik dan profesional, pasti memiliki cita-cita yang luhur untuk para anak didiknya. Yaitu bagaimana setiap anak didiknya mampu melebihi keilmuan dirinya. 4. Mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah Adab selanjutnya adalah bertitik fokus pada pemantapan hati seorang murid bahwa dalam menuntut ilmu sang murid harus meyakini sepenuhnya bahwa seluruh ilmu datangnya dari Allah subhanhu wa ta’ala. Bahkan termasuk ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin ar-Razi mengkajinya melalui kalimat مما علّمت sebagian dari ilmu yang diajarkan kepadamu. Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa meminta kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Sehingga ia berkenan untuk mengajarkan dan membimbing sang murid tersebut. 5. Meminta petunjuk dan bimbingan dari guru Sebagaimana telah maklum bersama bahwa tujuan agung dari belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga diri secara khusus dan umat manusia pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam lubang kesesatan dan kehancuran. Akan tetapi, hanya dengan ilmu, seseorang tidak akan mampu mengubah ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan kecuali dengan petunjuk dan bimbingan dari seorang guru. Itulah hikmah dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala ممّا علّمت رشدا. Jadi dalam penggalan ayat tersebut terdapat kalimat علّمت yang merepresentasikan makna ilmu’ yang disandingkan dengan kata الرشد petunjuk. Dapat disimpulkan bahwa termasuk adab mulia dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid tidak hanya meminta ilmu kepada gurunya melainkan juga memohon petunjuk, nasihat dan arahan ke jalan yang benar. Sehingga tujuan pensyariatan menuntut ilmu tersebut tercapai. Karena banyak umat manusia terjerumus ke jalan yang salah bukan karena tidak tahu bahwa itu salah. Tetapi karena tidak ada yang memberi nasihat dan dorongan agar tidak meniti titian kesesatan tersebut. 6. Ketidakbolehan menentang dan membantah apa yang dilakukan guru Telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu, yang dimana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah taslim menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang guru. Hal semacam ini telah menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf di Indonesia. Dalam hal pernikahan misalnya, baik santriwan maupun santriwati yang telah taslim kepada seorang kiai atau pengasuh sebuah pesantren, tidak perlu sibuk mencari pasangan hidupnya. Karena mereka menunggu keputusan sang kiai tentang kapan dan dengan siapa mereka akan dinikahkan. Pola pikir yang digunakan sangatlah sederhana, karena wali santri atau orang tua dari santri yang bersangkutan telah memasrahkan putra-putrinya dengan cara menyerahkannya kepada sang kiai, maka dengan begitu, sampai dalam hal pernikahan pun juga menunggu keputusan sang kiai. Ketidakbolehan menentang dan membantah pilihan sang kiai adalah termasuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, sampai dalam hal penentuan jodoh sekalipun. 7. Mencari ilmu pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial Termasuk pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi Khidir ialah bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial. Dalam hal ini kata mutiara “أنظر ما قال ولا تنظر من قال” perhatikanlah apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan yang dituturkan oleh bab al-ilmi sayidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling tepat untuk mengungkapkan substansi dari pembahasan dalam poin ini. Nabi Musa 'alaihissalam dalam perjalanan nyantri-nya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan status sosial beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap menjunjung tinggi akhlak dan ketawadukan beliau kepada sang guru. Begitu juga gurunya, Nabi Khidir 'alaihissalam. Sang guru bukannya tidak tahu bahwa yang datang menemui beliau dan memintanya menjadi guru adalah seorang nabi Bani Israil, sang Kalîmullah, melainkan karena sang guru paham bahwa kebenaran tidak mesti diberikan kepada orang dengan status sosial yang tinggi, akan tetapi kebenaran dianugerahkan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. 8. Mondok untuk mengabdi dan kemudian mengaji Kajian al-Imam Fakhruddin ar-Razi selanjutnya adalah soal manajemen waktu. Seorang thâlib al-ilmi pencari ilmu tatkala berguru, sebaiknya pertama kali yang ia lakukan adalah mengabdi kepada sang guru, baru kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya. Hal ini kerap diistilahkan dengan الخدمة قبل العلم mengabdi sebelum mengaji. Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat هل أتّبعك على أن تعلّمني apakah aku boleh mengikutimu agar engkau dapat mengajarkanku... Dalam penggalan ayat tersebut penyebutan أتّبعك yang menjadi representasi dari makna mengabdi’ disebutkan lebih dahulu dari pada kalimat أن تعلّمني yang merepresentasikan makna mengaji’. Sehingga disimpulkan oleh ar-Razi bahwa termasuk adab menuntut ilmu adalah mendahulukan pengabdian terhadap sang guru sebelum mengaji dan menimba ilmu darinya. 9. Belajar harus untuk ilmu bukan yang lain Adab menuntut ilmu yang terakhir adalah berkenaan dengan niat dan tujuan menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه Artinya "Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya akan memperoleh ganjaran dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena harta atau kemegahan dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. HR. Bukhari-Muslim. Nasihat terbaik ar-Razi kepada para penuntut ilmu yang tersirat dalam Mafatih al-Ghaib-nya yaitu agar jangan sampai aktivitas mulianya ternodai dengan niat dan tujuannya sendiri. Menuntut ilmu jangan sekali-kali diniatkan sebagai ladang mencari harta dan tahta di masa mendatang. Wallahu a’lam. Ahmad Dirgahayu Hidayat, Mahassantri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur; Mahasiswa Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo
Kisahpara sahabat terdahulu amatlah pantas untuk kita ambil pelajaran dan motivasi darinya. Membaca kisah mereka akan menambah iman dan melejitkan semangat, biidznillah. Di antaranya adalah kisah yang akan kita renungi ini. Kisah penggugah kesabaran yang insya Allah akan melambungkan semangat kita dalam menuntut ilmu.
Buku sebagai jendela dunia. Foto PixabaySedari kecil kita semua sudah diajarkan oleh orangtua sedikit demi sedikit untuk mengetahui banyak hal. Belajar mengetahui hal-hal sederhana hingga otak kita mampu menyerapnya dengan zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang sahabat beliau yang sudah menunjukkan keingintahuan dan kesungguhannya dalam belajar banyak hal. Dia bernama Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas. Dia adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal tidak pernah bosan menggali ilmu sejak usia muda. Ibnu Abbas, si 'gila' ilmu bin Abbas adalah sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan anak dari Abbas bin Abdul Muthalib dan Ummu al-Fadl Lubaba. Ayah dari Abdullah, adalah paman terkasih Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, Abbas adalah orang yang paling merasa kesepian atas Ibnu Abbas sudah dikenal akrab dengan Nabi Muhammad SAW sejak kecil. Bersama beliau, ia tumbuh menjadi pribadi yang mempunyai karakter dan sifat yang suatu ketika, Ibnu Abbas dipenuhi rasa keingintahuan yang besar tentang bagaimana cara Nabi Muhammad SAW salat. Hingga ia dengan sengaha menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Al-Harits yang merupakan istri Nabi Muhammad dipertengahan malam, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bangun untuk menunaikan ibadah salat. Dia pun bergegas mengambil air untuk bekal wudu Nabi Muhammad SAW. Betapa terkejutnya beliau ketika menemukan Ibnu Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudu bahagia menggelora di hati Nabi Muhammad SAW saat itu. Beliau pernah mendoakan Abdullah bin Abbas, "Ya Allah, berilah ia pengertian dalam bidang agama dan berilah ia pengetahuan takwil tafsir."Dari doa tersebut, Abdullah bin Abbad pun dikenal sebagai ahli tafsir. Dia juga banyak meriwayatkan hadist, tak kalah dari sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus perawi hadist lainnya, seperti Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan sedari kecil orang sudah mempunyai rasa ingin tahu yang besar akan sesuatu hal, tentu tanpa sadar hal itu bisa saja terus mengalir di dalam diri hingga kapan suatu waktu, di saat orang yang benar-benar akrab dengannya sejak kecil, Nabi Muhammad SAW meninggal, kesungguhan belajar Abdullah bin Abbas tidak pernah kendur. Walaupun dia merasa begitu sangat kehilangan dan tidak mau berlarut-larut tenggelam akan kesedihan, dia tetap meneruskan untuk menimba ilmu. Tentu saja, ilmu itu tidak hanya didapat pada satu orang, ada banyak orang di muka bumi ini yang bisa kita andalkan untuk memetik suatu pembelajaran terhadap hal apa pun. Masih ada banyak para sahabat Nabi Muhammad SAW yang masih hidup dan menjadi tempat untuk Ibnu Abbas melanjutkan untuk menimba hidup Abdullah bin Abbas, mengetuk satu pintu ke pintu yang lain untuk menimba ilmu dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Sampai pada akhirnya, ia menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Di saat usianya yang masih muda, ilmu dan pengetahuan yang ia dapat tak berimbang dengan orang yang pernah bertanya kepada beliau, "Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini, Ibnu Abbas?"Abdullah bin Abbas menjawab, "Dengan lidah dan gemar bertanya, dengan akal yang suka berpikir."Tingginya ilmu yang ia gapai, menjadikannya sebagai kawan dan lawan diskusi bagi para sahabat Abdullah bin Abbas yang selalu haus akan ilmu dan pengetahuan, menjadikannya sebagai seorang yang patut dijadikan panutan. Semoga, kisahnya bisa menjadi pembelajaran positif bagi kita semua untuk mengetahui banyak hal, ya. Setiapmuslim sebaiknya mencontoh ajaran Nabi dalam mendidik anak-anaknya. Caranya adalah dengan menerapkan parenting islami. Mengajarkan Anak untuk Selalu Menuntut Ilmu Kapan dan Dimana Saja Ibu dapat membacakan kisah para Nabi Rasul, serta sahabat Nabi dan tokoh islam lainnya. Ceritakan dengan bahasa yang sederhana dan mudah ya, Bu MENELADANI sahabat Nabi dalam menuntut ilmu. Seperti diketahui, kita mengenal bahwa sahabat Nabi adalah orang-orang yang memiliki ilmu luar biasa. Baca Juga Mengenal Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas&8217;ud yang Akhlaknya Paling Mirip dengan Rasulullah Namun, ilmu-ilmu yang didapatkan tidaklah diraih secara instan. Perlu semangat, kerja keras, dan semacamnya. Selain itu, mereka juga serius untuk memahami suatu ilmu. Kita pasti sering mendengar banyak kisah perjuangan-perjuangan sahabat untuk belajar sebuah ilmu. Ada yang harus rela bepergian jauh untuk menuntut ilmu, dan berbagai perjuangan lainnya. Kemudian, para sahabat juga sangat berhati-hati ketika menerima sebuah ilmu. Oleh sebab itu, ketika mereka ingin mengetahui suatu hal, para sahabat bertanya langsung kepada sumber yang terpercaya, yaitu Rasulullah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, ومن تدبر أحوال الصحابة وجد أنهم أحرص الناس على العلم وأنهم لا يتركون شيئا يحتاجون إليه في أمور دينهم ودنياهم إلا ابتدروه والله الموفق. “Barang siapa yang memperhatikan keadaan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, niscaya dia akan mendapati bahwa mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam hal ilmu. Tidaklah mereka meninggalkan sedikit pun perkara yang mereka butuhkan dalam urusan agama dan dunia melainkan mereka bersegera menanyakannya, wallahul-muwaffiq.” Sumber Syarh Riyadh al-Shalihin, Jilid 1, hlm. 263. Alih Bahasa Abu Fudhail Abdurahman Ibnu Umar غفر الرحمن له.
RumahZakat Salurkan Bantuan dan Pendampingan Pelaku Usaha. Berikut ini adalah beberapa kisah ulama salaf dalam mencari ilmu: 1. Jabir bin Abdullah. Dalam kitab Shahih Bukhari, disebutkan bahwa Jabir melakukan perjalanan selama satu bulan untuk menemui Abdullah bin Anis demi memperoleh salah satu hadits dari shahih Bukhari. 2. Ibnu Abbas.

Ilustrasi Kisah Nabi. Foto dok PexelsAbdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang dikenal dengan ketekunannya dalam menuntut ilmu. Untuk mengetahui kisah Abdullah bin Abbas sebagai sahabat Nabi yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dapat Anda ketahui dalam ulasan singkat berikut Sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas dan Ketekunannya Dalam Menuntut IlmuSeperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, Abdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang sangat dikenal di kalangan umat Islam. Sahabat Nabi yang memiliki julukan atau nama lain Ibnu Abbas ini juga merupakan sepupu Nabi Muhammad yang memiliki jarak umur yang cukup jauh dari Nabi Abbas dikenal sebagai sahabat Nabi yang berpengetahuan luas yang juga memiliki ketekunan dan rasa ingin tahu yang tinggi sehingga tak heran jika cukup banyak hadis shahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas. Abdullah bin Abbas lahir setelah 10 tahun Nabi Muhammad menjalankan dakwah untuk menyebarkan agama buku berjudul Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya karya Ustadz Imam Mubarok Bin Ali 2019162 memaparkan bahwa Abdullah bin Abbas selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini diketahui pada saat Nabi wafat. Meski ditinggal Nabi dalam umur yang cukup dini yaitu umur 13 tahun, Abdullah bin Abbas tidak putus harapan untuk terus menggali pengetahuan yang ingin bin Abbas selalu mencoba mendatangi sahabat Nabi untuk menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahuinya, yaitu tentang ajaran Islam dan hal-hal yang berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW. segala kesempatan digunakannya dengan cermat hanya untuk mendapatkan ilmu dari sahabat Nabi yang telah bersama Nabi lebih lama rasa ingin tahu yang dimiliki Abdullah bin Abbas ini harus kita teladani karena dengan semakin banyak ilmu yang kita ketahui maka semakin banyak juga hal-hal yang dapat kita kerjakan seperti amalan-amalan berpahala. Tak hanya itu, pengetahuan tentang Islam juga wajib dicari karena mencari ilmu merupakan kewajiban tiap-tiap umat islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi pada hadis berikut iniطَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍArtinya ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu MajahPemaparan mengenai kisah Abdullah bin Abbas dapat Anda jadikan sebagai nasihat dan juga wawasan serta pengingat untuk terus menuntut ilmu hingga ajal menjemput. DA

TokohTeladan Dalam Semangat Mencari Ilmu. Berikut ini adalah sepenggal kisah-kisah menakjubkan tentang kesungguhan para Ulama dalam menuntut ilmu : a. Kesabaran dan Kesungguhan Menuntut Ilmu. Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata : "Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah.
Oleh Hannan Majid Purwokerto, Takhasus Kisah para sahabat terdahulu amatlah pantas untuk kita ambil pelajaran dan motivasi darinya. Membaca kisah mereka akan menambah iman dan melejitkan semangat, biidznillah. Di antaranya adalah kisah yang akan kita renungi ini. Kisah penggugah kesabaran yang insya Allah akan melambungkan semangat kita dalam menuntut ilmu. Namun sebelum membaca kisah tersebut, alangkah baiknya jika sedikit mengulas tentang kesabaran dengan makna yang luas. Kesabaran, Sebuah Amalan Besar Sabar, sebuah kata yang mudah diucapkan, sering terdengar, namun sangat berat untuk mengamalkannya. Sabar, sebuah nasihat yang mungkin sudah pernah tertulis berulang kali dalam artikel para santri. Bosan memang, kalau kita terus membaca dan mendengarkan nasihat ini. Namun karena pentingnya sabar dalam hidup seorang mukmin, tak mengapa lah kita kembali mengulangnya agar menjadi pengingat bagi kita semua. Sabar itu konsekuensinya berat, menahan hati, lisan, dan anggota badan dari hal-hal yang haram yang biasanya jiwa kita malah cenderung menginginkannya. Atau menahan diri dan menerima hal-hal tidak mengenakkan yang menimpa kita. Tidak hanya itu, bahkan terkadang untuk bersabar kita harus mengorbankan perasaan. Tak heran, Allah menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang mampu bersabar. Dalam ayat-Nya Dia mengatakan, إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Az-Zumar 10 Sabar bagi seorang mukmin merupakan suatu keharusan, yang selalu menemani dan mengiringinya di saat musibah itu datang menghadang. Itulah yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam sabdakan, عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Betapa menakjubkannya urusan seorang mukmin, semua urusannya baik. Dan hal itu tidak ada pada selain mereka. Apabila kebahagiaan menghampirinya, ia bersyukur, maka itu kebaikan baginya. Apabila musibah datang menimpanya, ia bersabar, maka itu pun kebaikan baginya.” HR. Muslim no. 2999 Memang benar, sabar itu selalu ada di saat ujian menimpa mereka, di setiap waktu dan tempat. Namun yang lebih dari itu adalah sabar dalam thalabul ilmi, di saat mempelajari ilmu agama. Kenapa? Karena thalabul ilmi adalah amalan yang besar, panjang perjalanannya, tidak hanya selesai dalam dua atau tiga tahun saja. Di sana perlu perjuangan sekuat tenaga untuk tetap istikamah dan tegar dalam menghadapi berbagai rintangan dan lika-liku yang ada. Jauhnya dari orang tua dan kerabat, minimnya harta, kurangnya kemampuan dalam menghafal dan memahami, gangguan teman, kerasnya sikap guru, dan seabrek halangan lainnya. Sekarang, marilah kita membaca kisah penggugah kesabaran, yang semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita semua. Klik laman selanjutnya di bawah Baca Juga Spirit Thalabul Ilmi
Dandalam hal ini kita mengambil inspirasi dari para Salaf kita ataupun dari kisah-kisah para Nabi dan Rasul, kisah-kisah orang-orang shalih di dalam perjalanan mereka menuntut ilmu. Ada satu kisah yang disampaikan oleh Ubay bin Ka'ab, ia menceritakan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang perjalanan Nabi Musa menuntut ilmu. Para ulama dari generasi terdahulu salaf menunjukkan contoh yang luar biasa dalam mencari ilmu. Di tengah keterbatasan, mereka tidak menyerah. Tekadnya tidak tergoyahkan untuk belajar agama Islam. Seperti dinukil dari kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam Bukhari, kesungguhan dalam menuntut ilmu ditunjukkan Jabir bin Abdullah. Pada suatu kali, ia amat tertarik pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka dari abad pertama Hijriyah itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Rasulullah SAW itu. Sayangnya, sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis tersebut telah hijrah dari Jazirah Arab dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz. Bagaimanapun, periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. Jabir adalah satu dari sekian banyak contoh, betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Dalam hal ini, sang alim merasa bertanggung jawab untuk menemukan kebenaran dari sebuah hadis yang didengarnya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya. Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama. Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf zaman dulu sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini. “Apa gunanya mereka para ulama bersusah payah?” tanya Abu Ghaddah retoris dalam karyanya itu. Ia pun melakukan penelusuran. Berdasarkan pembacaannya, banyak kisah kegigihan ulama salaf yang membuatnya takjub. Mereka sangat inspiratif. Rela bersusah payah Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq. Ulama ini menuturkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada sang guru yang bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, pada masa dirinya sebagai murid sering kali ia tak tidur pada malam hari. Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber-muzakarah ketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan subuh. Ada pula kisah Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawaban, dia mendatangi Malik bin Anas tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Bahkan, pernah suatu kali karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim tidak menyadari bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meninggalkan rumah, tidak seperti kamu yang asyik tertidur!” Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini memilukan hati Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya. Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascamusibah tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu, al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberikan uang sebesar dinar kepada Ibnu Lahiah. Namun, seperti halnya pandangan para ulama, uang dalam nominal berapapun tak dapat menggantikan catatan-catatan ilmu yang telah lenyap. .
  • f9nc79nnk4.pages.dev/998
  • f9nc79nnk4.pages.dev/655
  • f9nc79nnk4.pages.dev/260
  • f9nc79nnk4.pages.dev/999
  • f9nc79nnk4.pages.dev/41
  • f9nc79nnk4.pages.dev/269
  • f9nc79nnk4.pages.dev/479
  • f9nc79nnk4.pages.dev/242
  • f9nc79nnk4.pages.dev/794
  • f9nc79nnk4.pages.dev/88
  • f9nc79nnk4.pages.dev/132
  • f9nc79nnk4.pages.dev/471
  • f9nc79nnk4.pages.dev/526
  • f9nc79nnk4.pages.dev/213
  • f9nc79nnk4.pages.dev/323
  • kisah para sahabat dalam menuntut ilmu